Minggu, 31 Agustus 2014

Bagaimana Memahami Gambaran Besar Subsidi BBM di Indonesia

Kenapa Jokowi Prabowo atau Presiden siapapun di Indonesia sekarang ini wajib kurangi subsidi BBM atau dalam arti umum menaikkan harga? Karena subsidi ini akan menjadi bumerang kepada Seluruh Rakyat Indonesia setiap tahun ke depannya selama NKRI berdiri. Karena orang waras manapun yang mengelola anggaran akan mengutamakan solusi jangka panjang. Bukan yang jangka pendek.


Cadangan minyak bumi semakin sedikit pada tau kan? Jadi ya otomatis harga aslinya naik terus. Prinsip ekonomi. Banyak yang butuh (permintaan tinggi), barangnya sedikit. Dan yang paling hebat, kita di Indonsia mayoritas rakyatnya gak tau. Atau bahkan gak mau tau? "Pokoknya gue bisa beli premium dan harus terjangkau. Masalah lain-lain Pemerintah dong urusin. Buat apa ada Pemerintah". Eh buset. Minyak mentah ditambang kan pake tenaga, pake alat, kendaraan transportasi, laboratorium, quality control, dll. Jadi pasti ada biaya. Biaya yang mahal bisa saja disulap jadi murah. Ya kalau sulap, kualitasnya juga ala sulap. Mungkin bensin bohongan KW Super 😅. Lagian buat apa melakukan investasi di barang yang dipakai habis, consumables. Mendingan bikin jalan dan tambah jalur rel kereta, itu baru investasi yang bener.


Pendapatan duit negara kita kan dari pajak rakyat. Jadi kita kerja mati-matian buat bayar bbm doang melaui subsidi (nomobokin kerugian). Padahal negara bisa bikin kilang minyak dan jalanan yang layak ke daerah-daerah seluruh NKRI terutama dengan tujuan pemerataan pembangunan agar menyentuh ke daerah juga, agar semua tidak harus ke kota-kota besar. Dan lagipula NKRI bukan hanya kota Jakarta Bandung Jogja Semarang Surabaya.


Kenapa Presiden Soeharto tidak menaikkan BBM? Karena ada sogokan masif terstruktur dari  Pihak yang diuntungkan dengan impor minyak. Lu beli dari gue Rp... Gue jual kan Rp... Nah selisihnya per liter kita atur-aturlah. Dia menjual mimpi agar Rakyat Indonesia terlena. Harapannya agar NKRI terus bergantung subsidi, jangan pernah bangun, agar dia makin kaya. Kan bayarnya pake duit negara. Santai aja. Namun harus dijaga, setiap ada yang 'berkoar' atau berserikat, tumpaskan. Soekarno: dari awal tau NKRI negara kaya dan maunya Indonesia bisa menghasilkan Minyak. Dia juga gak mau kita ketergantungan asing. Makanya dikudeta. Namun ya, sampai sekarangpun kita tetap dikondisikan agar impor tetap besar. Bedanya hanya sekarang yang bermain Muhammad Rizal Chalid, PETRAL yang sempat terkait penyadapan Australia.


Nah kembali ke subsidi, ibarat jebakan kartu kredit dan KTA, duitnya kita pakai hanya buat konsumsi (dalam hal ini bbm), tapi tidak ada hasilnya. Mending duit gaji kita (APBN), digunakan 'beli barang' yang ketahuan jadi aset bermanfaat buat rakyat banyak dan jangka panjang. Apa contohnya? Infrastruktur kereta api, jalanan kuat dan bagus yang mampu menahan beban truk minimal Unit FCL 40 Feet (kontainer) sampai daerah terpencil (distribusi barang jadi murah dan cepat), kilang pengolahan minyak yang banyak dan yang kita kelola sendiri, intinya kita bisa 'beli' semua hal yang bagus dan mempunyai nilai bagus juga buat masa depan NKRI. Ini ada artikelnya bisa dibaca untuk lebih jelas lagi:


http://m.antaranews.com/berita/450993/masyarakat-harus-pahami-tingginya-harga-minyak

Masyarakat harus pahami tingginya harga minyak


Di artikel tersebut disebutkan: "Harga minyak dunia saat ini telah mencapai 100 dollar per barel, itu artinya satu liter seharusnya dibayar Rp8.400.


"Itu masih minyak bumi mentah, kalau sudah diolah, tentunya memerlukan tambahan paling tidak Rp2.000 per liter," 


Jadi gimana? Masih mau 'belanja pendek' sebodo amat atau sudah mau berpikir untuk masa depan Negara Indonesia?  Kita bisa aja terus 'NOMBOKIN', namun mau sampai kapan? Akan dimanakah kita 40 tahun dari sekarang? Bagi yang sudah berumur 40 boleh jadi nanti sudah tutup usia, namun saya harap Indonesia masih tetap jaya bersama anak cucu keturunannya.


Mudah-mudahan kita bisa menjadi bangsa yang berpikiran luas dan bisa mengerti apa artinya masa depan rakyat Indonesia, berbanding belanja konsumerisme jangka pendek saja.